Waktu itu aku masih belum memiliki sepeda, beruntung seorang kawanku Rudi a.k.a Kentang mempunyai dua sepeda gunung dan Dia selalu meminjamiku untuk gowes. Mungkin dia juga butuh teman untuk bersepeda bersama, jadilah dia mengajakku terkadang juga teman yang lain. Meski belum memiliki sepeda namun Aku sudah punya helm sepeda serta framenya, untuk part lain masih mencicil. Yang penting safety dan keamanan bersepeda kami penuhi dulu.
Minggu pagi Kami berlima sepakat untuk gowes ke sekitar hutan di kecamatan parengan Tuban. Aku, Kentang, Sobak, Minying dan Ari. Di Rumah Arilah kami berkumpul. Temanku Sobak saat itu juga belum punya sepeda , Sobak memakai sepeda Ari yang memang punya 2 sepeda, xtrada dan thrill. Sepeda Kentang yang ku pakai pun juga xtrada 3.0, sedang Dia sendiri menunggangi Mosso FR, Minying menggunakan pasific. Tujuan Kami waktu itu adalah melihat air terjun kecil di dalam hutan parengan meski kami ragu apakah ada airnya atau tidak mengingat ini adalah musim kemarau dimana banyak mata air dan sungai yang mengering.
Seperti biasa Kami lewat Desa Menilo, jalanan disini masih aspal yang mulus. Ada beberapa tanjakan dan turunan yang nantinya akan kami lewati, hitung-hitung sebagai pemanasan hehe. Untuk pemula mungkin agak sedikit berat tapi jika sudah terbiasa gowes pasti sanggup melewatinya, karena antara tanjakan yang di lewati nanti sebanding dengan turunan yang di dapat. Selepas dari desa Menilo kami melewati desa dan pasar desa Prambon tergayang, biasanya ada beberapa Club goweser yang berkumpul disini untuk makan dan minum karena memang banyak warung disekitar pasar yang berjualan. Nantinya Kami juga menjumpai lagi titik berkumpul pesepeda di Desa Soko, kami menyebutnya dengan Telon Kenti. Sebuah pertigaan Jalan yang menjadi akses beberapa desa di kecamatan Soko. Sama halnya dengan Desa Prambon di Telon Kenti juga ada banyak warung makan yang tersedia karena memang letaknya yang strategis. Biasanya sebelum melanjutkan perjalanan, para goweser sarapan dulu disini. Karena kami merasa belum lapar Kami melanjutkan mengayuh pedal ke utara untuk menuju alas Parengan. Jalan yang kami lalui masih aspal namun kali ini datar-datar saja meski tak semulus sebelumnya, ada beberapa ruas yang rusak dan berlubang. Sampai di depan SMP Parengan, kami masuk ke utara. Pemandangan yang kami lihat masih perkampungan warga desa Parengan. Sekitar menempuh kurang lebih 6 km ke utara kemudian ke timur, baru kayuhan Kami disambut sawah dan perkebunan. Dan kami mulai bersepeda masuk ke dalam hutan. Kali ini ban sepeda sudah bertemu dengan tanah kering gersang dan kadang berlubang bekas dari roda motor maupun truck yang pernah lewat mengangkut hasil hutan entah kayu, ranting maupun daun. Letak air terjun mungkin 3km didalam hutan, berada di sisi kanan rute yang akan kami lewati.
Minying,Kentang,Sobak,Ari,Aku
Ternyata apa yang kami khawatirkan benar terjadi. Tidak ada air yang mengalir sesampai di sana. Kondisi sungai sudah mengering dengan tanah yang retak akibat kemarau. Kecewa yang Kami rasakan tidaklah besar karena kami sudah menduganya. Malahan kami di untungkan dengan keringnya air kami bisa langsung ke tempat air mengalir tanpa khawatir terpeleset karena tanah yang licin. Meski begitu Kami tetap harus waspada juga terhadap kondisi medan sekitar, salah tingkah bisa membuat jatuh ke bawah dan jelas Kami menghindari hal tersebut. Bagi Kami yang penting adalah gowesnya, tujuan akhir adalah bonus yang diterima. Beberapa gambar Kami ambil untuk kenangan bahwa Kami pernah ke sini. Mungkin lain waktu di musim penghujan Kami akan datang lagi ke sanan bersama-sama tentunya.
Matahari semakin menunjukan keberadaannya menjelang tengah hari. Puas istirahat dan befoto bareng Kami melanjutkan putaran roda. Diantara Kami berlima Kentanglah yang paling tahu dan mengenal daerah hutan ini, Dia menawarkan teman-teman mengunjungi beberapa sumber mata air, kami setuju saja karena memang kami ingin bermain air sambil melepas lelah. Aku lupa nama mata air yang kami datangi, mungkin Kentang dan Ari tahu sebab mereka rutin gowes tiap minggu pagi. Untuk menuju ke sumber air selanjutnya kami mesti keluar lagi dari hutan, kali ini arah barat yang kami tempuh. Keluar dari hutan roda kami menyentuh aspal lagi, ternyata sumber mata air ini tidah jauh dari pinggir jalanan pedesaan. Tidak seperti tempat sebelumnya, disini kami masih melihat air meski tidak melimpah seperti saat musim penghujan. Airnya juga bening dan bersih, tak kami ceburi karena air nanti menjadi keruh. Hanya sekedar mencuci muka. Tadi sebelum sampai, kami sempat mampir di warung membeli gorengan, perut sudah mulai lapar dan tak dapat di bohongi. Hehe.
Lepas dari tempat ini gowes kami berlanjut, tenaga memang sudah berkurang tapi masih belum habis sepenuhnya. Sepertinya kali ini kami akan menemui tanjakan yang tak bisa kami taklukkan. Dari bawah kami pandangi dan memang menanjak abis dengan jarak yang lumayan jauh. Benar saja, kami semua menuntun sepeda dari bawah ke atas karena tak sanggup mengayuh meski gigi gear sepeda sudah di setting yang paling kecil. Sesampai di atas kami istirahat sambil memandangi alam sekitar. Pohon jati yang masih kecil serta matahari yang semakin meninggi membuat udara semakin panas, apalagi kondisi juga gersang. Beruntung ada gubuk petani yang kami gunakan untuk berteduh dari panas. Sebagian kawan mengambil foto dan berselfie ria. Aku dan Sobak berbincang di gubuk. Yang paling merasakan panas adalah Minying karena dia memakai kaos hitan dan celana levis ketika gowes, mungkin dari awal dia mengira gowes tidak jauh tapi ternyata Kentang dan Ari membawa gowes ini jauh dari rencana awal. Kami memutuskan untuk pulang setelah ini. Matahari sudah hampir tepat pada posisi siang hari.
ngaso ditengah tanjakan
Dalam perjalanan pulang, Ari memberitahu bahwa masih ada lagi sendang yang akan kami lewati. Sendang ini kata sudah dipugar oleh penduduk desa supaya airnya mudah di ambil dan letaknya di bawah pohon yang rindang. Aku jadi tak sabar untuk kesana untuk mandi akibat cuaca panas yang menyengat kepala. Sendang ini ternyata juga berada di sisi jalan, sebelah kiri dari arah kami pulang. Kondisinya juga agak ramai karena tempatnya yang memang teduh. Kami memutuskan untuk membasahi tubuh biar segar dan kembali fit untuk lanjutkan perjalanan pulang. Jalan pulang yang kami tempuh adalah Jalan raya jurusan Jatirogo – Parengan – Bojonegoro, sudah pasti kondisi panas dan berdebu karena banyak bus dan mobil yang lewat, apalagi tengah hari. Untuk ukuran gowes hari minggu ini memang memakan waktu yang agak lama , karena biasanya jam 10 pagi aku sudah sampai rumah, sedang ini jam 1 siang kami tiba di Bojonegoro. Melelahkan namun kami merasa senang telah berpetualang bersama.
Bersepeda bukanlah seberapa jauh yang telah di tempuh, seberapa kayuhan yang telah didapat. Bersepeda adalah mengukur batas kemampuan dan kesabaran diri. Sudahkah kita memahami hidup yang kadang menempatkan diri kita di atas roda kehidupan maupun di bawah. Gowes bersama mengajarkan kita untuk berbagi dengan yang lain, memaknai ikatan pertemanan. Ride Your way.